– Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memaparkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab fenomena angin kencang dan debu di sejumlah daerah di Jawa.
Angin kencang sebelumnya dilaporkan terjadi di beberapa daerah di Jawa. Salah satunya di Pangalengan Bandung, angin kencang menyebabkan ratusan pohon tumbang pada Senin (21/10).
Siswanto, Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG dalam pernyataannya menjelaskan setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab fenomena angin kencang tersebut.
Penyebab pertama, menurut Siswanto, adalah angin timuran monsun Australia di atas Laut Jawa dan Samudera Hindia di selatan Jawa.
“Kehadiran iklim yang lebih kering dan terlambat datangnya awal musim hujan salah satunya disebabkan masih aktifnya Angin Monsun Australia yang dominan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara,” kata Siswanto.
Data BMKG dari sejumlah stasiun meteorologi mencatat rentang kecepatan angin atas pada 1.500 meter di atas permukaan laut terjadi mulai dari 45 kilometer per jam seperti di Cilacap hingga 100 kilometer per jam di Serang.
“Penguatan kecepatan angin atas itu dipengaruhi oleh kuatnya pusaran tekanan tinggi di Samudera Hindia tengah bagian selatan sekitar Kepulauan Mascarene yang dikenal sebagai fenomena Mascarene High (MH),” kata Siswanto yang kemudian menyebut MH biasa muncul pada April dan Oktober yang berkaitan dengan monsun Afrika dan Australia.
Setelah monsun, faktor lain yang menurut Siswanto bisa menyebabkan angin kencang adalah pergerakan semu matahari secara tegak lurus dengan permukaan bumi atau yang disebut sebagai kulminasi.
Menurut Siswanto, kulminasi yang terjadi pada 10-16 Oktober sebagian besar berlokasi di wilayah Jawa dan Bali, seperti Jakarta, Semarang, Cilacap, Jogjakarta, dan Denpasar.
“Ditambah kondisi kering kemarau, beberapa kota mencatat suhu udara permukaan yang cukup tinggi. Hari ini di Jakarta dan Semarang mencatat suhu maksimum siang hari hampir tembus 37 derajat Celcius dan 36 derajat Celsius,” kata Siswanto.
Kondisi suhu yang panas ini akan menurunkan tekanan udara permukaan sehingga udara akan mengalir menuju wilayah dengan suhu panas tersebut.
Faktor ketiga selanjutnya adalah respons cuaca lokal, terutama di pegunungan, terhadap peningkatan kecepatan angin tersebut.
Kecepatan angin yang lebih kuat pada lapisan troposfer atau sampai 10 kilometer di atas permukaan bumi disebut Siswanto memicu penguatan sirkulasi lokal berupa angin gunung dan angin lembah di daerah dengan kontur daratan berbukit.
Sedangkan untuk fenomena debu di daerah pegunungan, Siswanto menyebutkan faktor non cuaca yaitu kebakaran lahan menjadi penyebabnya.
“Kebakaran hutan memengaruhi sirkulasi lokal sehingga menjadi bencana di beberapa tempat. Pada kasus angin kencang yang membawa debu pasir dan asap di Kota Batu ke arah Mojokerto, lokasi berada pada wilayah dengan kontur pegunungan,” kata Siswanto.
Menurut Siswanto, kebakaran lahan menyebabkan suhu lokasi menjadi panas dan bila terjadi dalam waktu yang lama akan mampu menurunkan tekanan udara permukaan sehingga angin akan mengalir ke wilayah tersebut.
“Tetapi pada saat kondisi di tempat lebih panas di bagian atas [pegunungan], maka sirkulasi lokal itu dapat berbalik sehingga menyebabkan angin lembah (dari atas ke bawah) menjadi lebih kuat dari biasanya,” kata Siswanto.
“Pada topografi tertentu, oleh pengaruh bentuk lereng dan permukaan pegunungan, angin lembah itu dapat membentuk pusaran pusaran angin pada area dan skala yang lebih kecil. Hal ini juga terjadi di lereng Merapi di mana terjadi peningkatan suhu permukaan akibat aktifitas erupsi dan awan panas di bagian atas pegunungan,” lanjutnya.
“Dengan kondisi dan kecepatan angin seperti ini, angin dapat menerbangkan material ringan apabila melintasi daerah berpasir atau tanah kering.” kata Siswanto. (end)