VANESSA Angel lolos dari jerat hukum dalam kasus prostitusi online yang ditangani Polda Jawa Timur.
Vanessa Angel hanya menjadi saksi dalam kasus itu. Padahal sebelumnya Vanessa Angel yang kedapatan berduaan dengan seorang lelaki saat polisi menggerebeknya.
Vanessa Angel pun kini sudah dibebaskan, dan dia sudah mengucapkan permintaan maafnya sebelum bebas.
Vanessa Angel meminta maaf atas kegaduhan yang telah terjadi, terutama atas segala opini dan asumi yang telah terbentuk di masyarakat lewat media sosial.
Vanessa Angel juga mengakui bahwa kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya telah merugikan banyak orang.
Berikutnya Vanessa Angel berterima kasih kepada pihak kepolisian yang telah membantu dan memperlakukannya dengan baik selama menjalani pemeriksaan sebagai saksi sekaligus korban.
Selanjutnya Vanessa Angel berjanji akan mengikuti prosedur pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh kepolisian.
Ya, Vanessa Angel lolos dari jerat hukum, begitu pula pengusaha yang membookingnya.
Sementara itu seorang yang menjadi tersangka adalah muncikarinya yang menghubungkan Vanessa Angel dengan pengusaha kaya raya tersebut. .
Muncikari itu adalah Tantri yang mengaku mendapat fee Rp 2,5 juta dari menghubungkan artis dengan pria hidung belang
Era Kolonial
Sebenarnya ada sejarah panjang dari era kolonial sampai masa kini terkait aturan prostitusi.
Sejarah itu pula lah yang dapat digunakan masyarakat saat ini untuk menilai mengapa pekerja seks komersial (PSK), dan pelanggannya tak dapat dihukum menggunakan perangkat hukum pidana Indonesia, yakni KUHP.
Prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda. Bahkan sejak masa Jan Pieterszoon Coen (1618 – 1623 dan 1627 – 1629), prostitusi sudah berkembang.
Jan Pieterszoon Coen secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu.
Perangkat hukum pun ia kembangkan, dan pada akhirnya justru menyasar putri angkatnya sendiri.
Coen pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan bermesraan dengan perwira VOC di rumahnya.
Sang perwira itu dihukum pancung, sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang.
Walau Coen secara tegas menolak prostitusi, kenyataannya ia dan pengganti-penggantinya kemudian tidak mampu membendung perkembangan prostitusi.
Lamijo dalam tulisannya berjudul Prostitusi di Jakarta Dalam Tiga Kekuasaan, 1930β1959: Sejarah dan Perkembangannya, menguraikan panjang-lebar tentang prostitusi di Batavia.
Seiring perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, tempat-tempat pelacuran pun mengalami perkembangan, bergeser.
Prostitusi tidak terkonsentrasi di satu tempat saja, misalnya, kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekitar jalan Jayakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang Mangga.
Tempat itu cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya kegiatan prostitusi, bahkan saat itu orang menyebut sakit sipilis dengan sebutan sakit mangga.
Dalam perkembangan selanjutnya, kompleks pelacuran Gang Mangga tersaingi rumah-rumah bordil yang didirikan orang Tiongkok yang disebut soehian.
Kompleks pelacuran semacam itu kemudian cepat menyebar ke seluruh Jakarta.
Karena sering terjadi keributan, pada awal abad XX soehian-soehian di sekitar Gang Mangga ditutup oleh pemerintah Belanda.