BOLAGILA –Β Fenomena ‘ayah penuh waktu’ atau ‘bapak rumah tangga’ tengah ramai di China. Banyak ayah di negara itu memutuskan untuk berhenti bekerja untuk kemudian melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak mereka di rumah.

Melansir dari Fortune, Jumat (20/9/2024), fenomena ini terjadi saat norma sosial di negara tersebut masih menetapkan pria sebagai pencari nafkah untuk keluarga sedangkan wanita mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Dalam sebuah survei pada 2019 lalu, lebih dari separuh pria di China mengatakan mereka setuju untuk menjadi bapak rumah tangga. Angka ini naik dari hanya 17% pada 2007 lalu.

Pendiri platform konseling psikologis daring, Pan Xingzhi, mengatakan kenaikan jumlah ayah penuh waktu itu terjadi seiring dengan pengakuan yang lebih luas atas hak-hak perempuan dan akses mereka ke pendidikan yang lebih tinggi.

“Peningkatan jumlah ayah rumah tangga disebabkan oleh fakta bahwa perempuan memiliki status yang lebih tinggi saat ini,” kata Pan.

Belum lagi menurut Pan, bagi banyak pasangan di China membiarkan sang ayah untuk berhenti bekerja dan mengurus rumah tangga dan anak seringkali lebih murah atau ekonomis daripada menyewa pengasuh.

“Orang-orang juga melihat ‘nilai uang’ bagi pasangan, mengabaikan gaji dan mengurus bayi mereka sendiri seringkali lebih murah daripada menyewa pengasuh atau pengasuh anak,” ujarnya.

Sebagai contoh ada seorang mantan manajer proyek bernama Chen Hualiang yang lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaan lamanya dan menjadi ayah penuh waktu di rumah. Sehari-hari, ia yang tinggal di pinggiran kota Shanghai mengasuh kedua putrinya yang berusia empat dan sebelas tahun.

“Ketika Anda bekerja, Anda memimpikan karir yang hebat dan uang ini akan membantu keluarga Anda. Tetapi tidak ada yang pasti, dan gaji belum tentu merupakan hal yang paling dibutuhkan keluarga Anda,” ucapnya dalam sebuah wawancara kepada AFP.

Chen mengaku lebih memilih menjadi bapak rumah tangga untuk mendekatkan diri dengan anaknya. Sebab berdasarkan pengalamannya, sosok seorang ayah sering kali tidak lebih dari penyokong finansial keluarga.

“Ayah saya hanyalah seorang ayah. Saya tidak pernah merasa dia dapat membantu saya, kecuali secara finansial. Saya ingin menjadi seperti teman bagi anak-anak saya, sehingga mereka dapat berbagi banyak hal dengan saya,” jelasnya.

Kemudian ada juga Chang Wenhao, seorang kreator konten dan pengusaha pendidikan dari kota Zhuhai, Tiongkok selatan, yang beralih haluan ikut menjadi bapak rumah tangga.

Dia menyesuaikan jam kerjanya agar 80 persen waktunya dapat digunakan untuk putrinya yang berusia tujuh tahun dan putranya yang berusia lima tahun, dengan mengajak mereka berkemah, berkuda, bersepeda, dan mendaki gunung.

Chang menyesuaikan jam kerjanya agar 80% waktunya dapat digunakan untuk putrinya yang berusia tujuh tahun dan putranya yang berusia lima tahun. Ia nampak aktif mengajak mereka berkemah, berkuda, bersepeda, dan mendaki gunung.

“Dalam hal metode pendidikan, dorongan, cara membangun rasa percaya diri, mengembangkan keterampilan mereka, kemandirian mereka dalam hidup, saya memberikan mereka hal-hal yang tidak mereka pelajari di sekolah atau dari orang dewasa lainnya,” ucapnya.

Selain mereka, di Xiaohongshu (semacam Instagram versi China) banyak ayah-ayah muda yang tinggal di rumah dan dengan bangga mempromosikan pilihan gaya hidup mereka. Walaupun tidak sedikit dari mereka yang mengaku masih menerima penolakan masyarakat sekitar atas pilihan menjadi bapak rumah tangga.

Penolakan ini utamanya terjadi dari keluarga dan masyarakat yang berusia lanjut. Sebab banyak dari mereka yang masih berpedoman kuat bahwa ayah adalah yang seharusnya bekerja untuk menafkahi keluarganya.

“Pada awalnya, orang tua dan kakek-nenek saya sering berkata: Anda harus bekerja. Tetangga yang lebih tua terkadang berkomentar kepada mereka. Itu mengganggu mereka, jadi mereka menekan saya,” kata ayah paruh waktu yang lain, Xu Xiaolin.